Kesehatan Telinga

1:25 AM Posted In Edit This 0 Comments »
Kebanyakan suara adalah merupakan gabungan berbagai sinyal, tetapi suara murni secara teoritis dapat dijelaskan dengan kecepatan osilasi atau frekuensi yang diukur dalam Hertz (Hz) dan amplitudo atau kenyaringan bunyi dengan pengukuran dalam desibel. Bunyi bisa terdengar oleh telinga manusia jika terjadi getaran di udara atau medium lain yang sampai ke gendang telinga manusia. Batas frekuensi bunyi yang dapat didengar oleh telinga manusia kira-kira dari 20 Hz sampai 20 kHz pada amplitudo umum dengan berbagai variasi dalam kurva responsnya.

Alat telinga dan pendengaran manusia secara terus-menerus bekerja sebagai pintu masuk komunikasi dan informasi melalui suatu proses transformasi yang rumit dan kompleks untuk menginterpretasikan getaran suara dan bunyi lingkungan. Tanpa kita sadari, manusia tidak luput dari berbagai faktor bahaya yang dapat mengganggu fungsinya. Salah satunya adalah paparan bunyi lingkungan yang makin bising, yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran maupun kesehatan pada umumnya.

Bising yang kontinu di atas 85 desibel tidak hanya akan menyebabkan keluhan pada telinga dan pendengaran, tetapi berbagai penelitian membuktikan terjadinya peningkatan tekanan darah, gangguan tidur, kelainan pencernaan, meningkatnya emosi, dan berbagai kelainan akibat stres. Seperti kita ketahui, banyak sekali jenis kegiatan yang melebihi ambang 85 desibel tersebut, misalnya peralatan mesin, lalu lintas ramai, musik yang menggunakan loudspeaker, permainan, dan aktivitas rekreasi lainnya. Dengan demikian, yang paling rentan adalah para pekerja pembangunan dan pabrik, mereka yang beraktivitas dan tinggal dipinggiran jalan raya, dan anak-anak.

Otot di telinga tengah manusia yang bekerja secara terus-menerus tidak akan mampu bertahan pada keadaan bising yang terlalu kuat dan kontinu sehingga terjadilah stimulasi berlebih yang merusak fungsi sel-sel rambut. Kerusakan sel rambut dapat bersifat sementara saja pada awalnya sehingga akan terjadi ketulian sementara. Akan tetapi, kemudian bila terjadi rangsangan terus-menerus, terjadi kerusakan permanen, sel rambut reseptor yang berfungsi untuk meredam getaran akan berkurang sampai menghilang dan terjadi ketulian menetap.


Ketulian akan terjadi pada kedua telinga secara simetris dengan mengenai nada tinggi terlebih dahulu, terutama dalam frekuensi 3.000 - 6.000 Hz. Sering kali juga terjadi penurunan tajam (dip) hanya pada frekuensi 4.000 Hz, yang sangat khas untuk gangguan pendengaran akibat bising. Karena yang terkena adalah nada yang lebih tinggi dari nada percakapan manusia, sering kali pada awalnya sama sekali tidak dirasakan oleh penderitanya karena belum begitu jelas gangguan pada saat berkomunikasi dengan sesama.

Perlu dipahami bahwa makin tinggi paparan bising, makin berkurang jangka waktu paparan yang aman. Misalnya pada 115 desibel (konser musik rock), 15 menit saja sudah berbahaya, pada 130 desibel (mesin jet), dua menit saja dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Musik orkestra klasik dan gamelan juga dapat memberi paparan kebisingan lebih dari 85 desibel, tetapi berbeda dengan bising industri, intensitasnya intermiten, bergantian antara bagian yang keras dan pelan, serta variasi nada yang cukup luas, sehingga terbukti kurang berbahaya bagi pendengaran. Walaupun demikian, tetap ditemukan kasus pada sebagian pemusik, yaitu antara 10 sampai 50 persen dapat mengalami gangguan pendengaran.

Bila terjadi ketulian akibat bising, tidak dapat baik kembali dan memerlukan alat bantu mendengar yang cukup mahal. Oleh karena itu, lebih baik menghindari kebisingan dan berbagai kiat. Caranya? Menghindari bising, mengurangi volume bunyi sekitar, dan menggunakan alat pelindung. Seperti pendapat Helen Keller--yang tuli dan buta sejak usia balita--ketika ditanyakan, andaikata ia mendapat kesempatan kedua, manakah yang ingin dihilangkannya? Ia menjawab, ingin terlahir kembali tanpa ketulian karena kebutaan memisahkannya dari benda-benda, sedangkan ketulian memisahkannya dari manusia.

(Berbagai Sumber)

Mengenal Penyakit Parkinson

1:18 AM Posted In Edit This 0 Comments »
Penyakit Parkinson

Penyakit Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif yang bersifat progresif akibat hilangnya neuron dopaminergik di daerah nigrostriatal (Olanow, 2008). Penyakit Parkinson adalah penyakit yang disebabkan adanya gangguan pada otak, yaitu pada sistem saraf pusat otak manusia mengalami kemunduran.

Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter inggris yang bernama James Parkinson pada tahun 1887. Penyakit ini merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami ganguan pergerakan. Penyakit Parkinson merupakan bentuk penyakit neurodegeneratif yang umum dijumpai dalam praktik sehari-hari dan memiliki prevalensi kurang lebih 1% diantara populasi berusia di atas 60 tahun (Less, 2008).

Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita antara pria dan wanita seimbang. Pada 5-10 persen orang yang terjangkit penyakit parkinson, gejala awalnya muncul sebelum usia 40 tahun, tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65 tahun.

Penelitian terdahulu memperlihatkan masih adanya kesenjangan dalam tatalaksana penyakit parkinson. Pada umumnya ada 3 hal utama yang menjadi kesenjangan dalam tatalaksana penyakit parkinson, yaitu:

1. Kesenjangan dalam hal diagnosis (pasien didiagnosis terlambat).
2. Kesenjangan dalam mengelola gejala dan meningkatkan kualitas hidup (kurang terkenalinya gejala non motorik pada penyakit parkinson).
3. Kesenjangan dalam terapi (keseimbangan antara efektivitas dan keamanan terapi, keterbatasan teknologi terapetik, dan keterbatasan akses terhadap deep brain stimulation di banyak negara berkembang).

Penyakit parkinson secara klasik ditandai oleh 4 gejala kardinal utama yang disingkat dengan TRAP. TRAP merupakan singkatan dari:
T: Tremor (tremor muncul pada saat istirahat)
R: Rigiditas (kekakuan)
A: Akinesia/ Bradikinesia (gerakan yang lambat)
P: Postural Instability (ketidakseimbangan postural).

Sebagai sebuah penyakit neuropsikiatrik yang kompleks, gangguan sistem dopaminergik di otak tidak hanya menimbulkan gangguan motorik.

Gejala penyakit Parkinson adalah:
1. Gemetaran/tremor. Seseorang penderita penyakit parkinson pada saat beristirahat atau tidak melakukan aktivitas akan mengalami gemetaran. Gemetaran yang timbul dapat terjadi pada tangan, kaki, rahang, atau kapala.
2. Kekakuan. Penderita akan mengalami rasa kaku pada otot, rasa sakit pada bahu, leher, dan sendi-sendi sehingga sulit untuk bergerak.
3. Hilangnya refleks postural. Penderita akan mengalami ganguan keseimbangan tubuh dan mudah roboh.
4. Kebekuan. Gejala ini mengacu terhadap ketidakmampuan untuk melakukan pergerakan yang aktif. Ketika akan berjalan, memutar, berjalan melalui jalan yang sempit penderita akan sulit utuk melakukannya.
5. Gejala nonmotor (tidak berhubungan dengan pergerakan).

Gangguan motorik hanya merupakan puncak gunung es dari penyakit parkinson. Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa nyeri, depresi, gangguan tidur, dan gangguan otonom sangat sering dijumpai pada penyakit parkinson.

Depresi dilaporkan berkisar antara 30%-40% pada pasien dengan penyakit parkinson (Lemke, 2007). Nyeri dilaporkan berkisar antara 60%-80%. Gangguan memori ditemukan pada kurang lebih 50% pada saat awal diagnosis, namun seringkali tidak terdeteksi. Berbagai gejala non motor tersebut sangat sering tidak terdiagnosis dan tidak terkelola dengan baik (Poewe, 2009).

Gejala non motorik seringkali terabaikan dan tidak diterapi secara adekuat. Gangguan tidur merupakan keluhan yang umum dijumpai di praktek. Gangguan fungsi saraf otonom berupa hipotensi orthostatik (yang berdampak mudah roboh) dan konstipasi juga seringkali dijumpai pada penyakit parkinson (Jost, 2008). Perhatian lebih terhadap keluhan subyektif pasien perlu dilakukan untuk berbagai gejala non motorik ini.

Penyebab dan diagnosis penyakit Parkinson

Penyakit parkinson terjadi ketika sel saraf atau neuron di dalam otak yang disebut substantia nigra mati atau menjadi lemah. Secara normal sel ini menghasilkan bahan kimia yang penting di dalam otak yang disebut dopamin. Dopamin adalah suatu bahan kimia yang dapat menghantarkan sinyal-sinyal listrik diantara substantia nigra dan di sepanjang jalur sel saraf yang akan membantu menghasilkan gerakan tubuh yang halus.

Ketika kira-kira 80 persen sel yang memproduksi dopamine rusak, gejala penyakit parkinson akan tampak. Kerusakan sel penghasil dopamin dipicu oleh karena degenerasi akibat usia, trauma, atau toksin.

Diagnosais penyakit parkinson didasarkan dengan pengambilan data-data riwayat pasien secara hati-hati dan dengan pemeriksaan fisik pasien yang dikaitkan dengan gejala-gejalanya. Hingga saat ini belum ditemukan test laboratorium atau alat pencitraan (radiologi) yang dapat mengkonfirmasi penyakit parkinson.

Pencitraan resonansi magnetik atau yang dikenal dengan MRI mungkin menunjukan kondisi lain yang mempunyai gejala serupa dengan penyakit parkinson. Oleh karena itu pasien yang mempunyai gejala-gelaja serupa disarankan utuk mencari seorang ahli saraf pada penyakit parkinson.

Perawatan Penyakit Parkinson

Perawatan pada penderita penyakit parkinson bertujuan untuk memperlambat dan menghambat perkembangan dari penyakit itu. Perawatan ini dapat dilakukan dengan pemberian obat dan terapi fisik seperti terapi berjalan, terapi suara/berbicara dan pasien diharapkan tetap melakukan kegiatan sehari-hari.

Penyakit parkinson merupakan penyakit neurodegenratif yang kronik dan progresif. Esesmen dan tatalaksana yang tepat diperlukan untuk memperbaiki gejala, menghambat perjalanan penyakit, dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Berbagai upaya perbaikan dalam terapi farmaka dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita parkinson.

(Berbagai Sumber)

Mengenal Skizofrenia

1:13 AM Posted In Edit This 0 Comments »


Skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas dan oleh kemunduran fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri. Skizofrenia Tipe I ditandai dengan menonjolnya gejala-gejala positif seperti halusinasi, delusi, dan asosiasi longgar, sedangkan pada Skizofrenia Tipe II ditemukan gejala-gejala negative seperti penarikan diri, apati, dan perawatan diri yang buruk.

Skizofrenia terjadi dengan frekuensi yang sangat mirip di seluruh dunia. Skizofrenia terjadi pada pria dan wanita dengan frekuensi yang sama. Gejala-gejala awal biasanya terjadi pada masa remaja atau awal dua puluhan. Pria sering mengalami awitan yang lebih awal daripada wanita.
Faktor resiko penyakit ini termasuk :
1. Riwayat skizofrenia dalam keluarga
2. Perilaku premorbid yang ditandai dengan kecurigaan, eksentrik, penarikan diri, dan/atau impulsivitas.
3. Stress lingkungan
4. Kelahiran pada musim dingin. Faktor ini hanya memiliki nilai prediktif yang sangat kecil.
5. Status sosial ekonomi yang rendah sekurang-kurangnya sebagian adalah karena dideritanya gangguan ini

Penyakit Skizofrenia Tidak ada jalur etiologi tunggal yang telah diketahui menjadi penyebab skizofrenia. Penyakit ini mungkin mewakili sekelompok heterogen gangguan yang mempunyai gejala-gejala serupa. Secara genetik, sekurang-kurangnya beberapa individu penderita skizofrenia mempunyai kerentanan genetic herediter. Kemungkinan menderita gangguan ini meningkat dengan adanya kedekatan genetic dengan, dan beratnya penyakit, probandnya. Penelitian Computed Tomography (CT) otak dan penelitian post mortem mengungkapkan perbedaan-perbedaan otak penderita skizofrenia dari otak normal walau pun belum ditemukan pola yang konsisten. Penelitian aliran darah, glukografi, dan Brain Electrical Activity Mapping (BEAM) mengungkapkan turunnya aktivitas lobus frontal pada beberapa individu penderita skizofrenia. Status hiperdopaminergik yang khas untuk traktus mesolimbik (area tegmentalis ventralis di otak tengah ke berbagai struktur limbic) menjadi penjelasan patofisiologis yang paling luas diterima untuk skizofrenia.

Semua tanda dan gejala skizofrenia telah ditemukan pada orang-orang bukan penderita skizofrenia akibat lesi system syaraf pusat atau akibat gangguan fisik lainnya. Gejala dan tanda psikotik tidak satu pun khas pada semua penderita skizofrenia. Hal ini menyebabkan sulitnya menegakkan diagnosis pasti untuk gangguan skizofrenia. Keputusan klinis diambil berdasarkan sebagian pada
1. Tanda dan gejala yang ada
2. Rriwayat psikiatri
3. Setelah menyingkirkan semua etiologi organic yang nyata seperti keracunan dan putus obat akut.

Terapi Penyakit Skizofrenia

Obat neuroleptika selalu diberikan, kecuali obat-obat ini terkontraindikasi, karena 75% penderita skizofrenia memperoleh perbaikan dengan obat-obat neuroleptika. Kontraindikasi meliputi neuroleptika yang sangat antikolinergik seperti klorpromazin, molindone, dan thioridazine pada penderita dengan hipertrofi prostate atau glaucoma sudut tertutup. Antara sepertiga hingga separuh penderita skizofrenia dapat membaik dengan lithium. Namun, karena lithium belum terbukti lebih baik dari neuroleptika, penggunaannya disarankan sebatas obat penopang. Meskipun terapi elektrokonvulsif (ECT) lebih rendah disbanding dengan neuroleptika bila dipakai sendirian, penambahan terapi ini pada regimen neuroleptika menguntungkan beberapa penderita skizofrenia.

Hal yang penting dilakukan adalah intervensi psikososial. Hal ini dilakukan dengan menurunkan stressor lingkungan atau mempertinggi kemampuan penderita untuk mengatasinya, dan adanya dukungan sosial. Intervensi psikososial diyakini berdampak baik pada angka relaps dan kualitas hidup penderita. Intervensi berpusat pada keluarga hendaknya tidak diupayakan untuk mendorong eksplorasi atau ekspresi perasaan-perasaan, atau mempertinggi kewaspadaan impuls-impuls atau motivasi bawah sadar.
Tujuannya adalah :
1. Pendidikan pasien dan keluarga tentang sifat-sifat gangguan skizofrenia.
2. Mengurangi rasa bersalah penderita atas timbulnya penyakit ini. Bantu penderita memandang bahwa skizofrenia adalah gangguan otak.
3. Mempertinggi toleransi keluarga akan perilaku disfungsional yang tidak berbahaya. Kecaman dari keluarga dapat berkaitan erat dengan relaps.
4. Mengurangi keterlibatan orang tua dalam kehidupan emosional penderita. Keterlibatan yang berlebihan juga dapat meningkatkan resiko relaps.
5. Mengidentifikasi perilaku problematik pada penderita dan anggota keluarga lainnya dan memperjelas pedoman bagi penderita dan keluarga.

Psikodinamik atau berorientasi insight belum terbukti memberikan keuntungan bagi individu skizofrenia. Cara ini malahan memperlambat kemajuan. Terapi individual menguntungkan bila dipusatkan pada penatalaksanaan stress atau mempertinggi kemampuan social spesifik, serta bila berlangsung dalam konteks hubungan terapeutik yang ditandai dengan empati, rasa hormat positif, dan ikhlas. Pemahaman yang empatis terhadap kebingungan penderita, ketakutan-ketakutannya, dan demoralisasinya amat penting dilakukan.

Prognosis Penyakit Skizofrenia

Fase residual sering mengikuti remisi gejala psikotik yang tampil penuh, terutama selama tahun-tahun awal gangguan ini. Gejala dan tanda selama fase ini mirip dengan gejala dan tanda pada fase prodromal; gejala-gejala psikotik ringan menetap pada sekitar separuh penderita. Penyembuhan total yang berlangsung sekurang-kurangnya tiga tahun terjadi pada 10% pasien, sedangkan perbaikan yang bermakna terjadi pada sekitar dua per tiga kasus. Banyak penderita skizofrenia mengalami eksaserbasi intermitten, terutama sebagai respon terhadap situasi lingkungan yang penuh stress. Pria biasanya mengalami perjalanan gangguan yang lebih berat dibanding wanita. Sepuluh persen penderita skizofrenia meninggal karena bunuh diri.

Prognosis baik berhubungan dengan tidak adanya gangguan perilaku prodromal, pencetus lingkungan yang jelas, awitan mendadak, awitan pada usia pertengahan, adanya konfusi, riwayat untuk gangguan afek, dan system dukungan yang tidak kritis dan tidak terlalu intrusive. Skizofrenia Tipe I tidak selalu mempunyai prognosis yang lebih baik disbanding Skizofrenia Tipe II. Sekitar 70% penderita skizofrenia yang berada dalam remisi mengalami relaps dalam satu tahun. Untuk itu, terapi selamanya diwajibkan pada kebanyakan kasus.

(Berbagai Sumber)

Mengenal Asam Urat

1:12 AM Posted In Edit This 0 Comments »
Asam Urat sering dialami oleh banyak orang sekarang ini. Bahkan, orang yang masih tergolong muda juga sering ditimpa penyakit ini. Sebenarnya, seperti apa penyakit ini? Apa saja gejala, penyebab, dan solusinya? Serta makanan apa yang menjadi pantangan? Berikut kita akan membahasnya.

Yang dimaksud dengan asam urat adalah sisa metabolisme zat purin yang berasal dari makanan yang kita konsumsi. Ini juga merupakan hasil samping dari pemecahan sel dalam darah.

Purin sendiri adalah zat yang terdapat dalam setiap bahan makanan yang berasal dari tubuh makhluk hidup. Dengan kata lain, dalam tubuh makhluk hidup terdapat zat purin ini, lalu karena kita memakan makhluk hidup tersebut, maka zat purin tersebut berpindah ke dalam tubuh kita. Berbagai sayuran dan buah-buahan juga terdapat purin. Purin juga dihasilkan dari hasil perusakan sel-sel tubuh yang terjadi secara normal atau karena penyakit tertentu.

Normalnya, asam urat ini akan dikeluarkan dalam tubuh melalui feses (kotoran) dan urin, tetapi karena ginjal tidak mampu mengeluarkan asam urat yang ada menyebabkan kadarnya meningkat dalam tubuh. Hal lain yang dapat meningkatkan kadar asam urat adalah kita terlalu banyak mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung banyak purin. Asam urat yang berlebih selanjutnya akan terkumpul pada persendian sehingga menyebabkan rasa nyeri atau bengkak.

Penderita asam urat setelah menjalani pengobatan yang tepat dapat diobati sehingga kadar asam urat dalam tubuhnya kembali normal. Tapi karena dalam tubuhnya ada potensi penumpukan asam urat, maka disarankan agar mengontrol makanan yang dikonsumsi sehingga dapat menghindari makanan yang banyak mengandung purin.
Kesimpulan singkat tentang asam urat
Gejala Asam Urat

* Kesemutan dan linu
* Nyeri terutama malam hari atau pagi hari saat bangun tidur
* Sendi yang terkena asam urat terlihat bengkak, kemerahan, panas dan nyeri luar biasa pada malam dan pagi.

Solusi Mengatasi Asam Urat

* Melakukan pengobatan hingga kadar asam urat kembali normal. Kadar normalnya adalah 2.4 hingga 6 untuk wanita dan 3.0 hingga 7 untuk pria.
* Kontrol makanan yang dikonsumsi.
* Banyak minum air putih. Dengan banyak minum air putih, kita dapat membantu membuang purin yang ada dalam tubuh.

Makanan yang Dihindari (mengandung banyak purin)

* Lauk pauk seperti jeroan, hati, ginjal, limpa, babat, usus, paru dan otak.
* Makanan laut seperti udang, kerang, cumi, kepiting.
* Makanan kaleng seperi kornet dan sarden.
* Daging, telur, kaldu atau kuah daging yang kental.
* Kacang-kacangan seperti kacang kedelai (termasuk hasil olahannya seperti tempe, tauco, oncom, susu kedelai), kacang tanah, kacang hijau, tauge, melinjo, emping.
* Sayuran seperti daun bayam, kangkung, daun singkong, asparagus, kembang kol, buncis.
* Buah-buahan seperti durian, alpukat, nanas, air kelapa.
* Minuman dan makanan yang mengandung alkohol seperti bir, wiski, anggur, tape, tuak.

(Berbagai Sumber)

Mengenal Glaukoma

9:58 PM Posted In Edit This 0 Comments »
Glaukoma adalah salah satu jenis penyakit mata dengan gejala yang tidak langsung, yang secara bertahap menyebabkan penglihatan pandangan mata semakin lama akan semakin berkurang sehingga akhirnya mata akan menjadi buta. Hal ini disebabkan karena saluran cairan yang keluar dari bola mata terhambat sehingga bola mata akan membesar dan bola mata akan menekan saraf mata yang berada di belakang bola mata yang akhirnya saraf mata tidak mendapatkan aliran darah sehingga saraf mata akan mati.

Faktor Resiko Glaukoma

Glaukoma bisa menyerang siapa saja. Deteksi dan penanganan dini adalah jalan satu-satunya untuk menghindari kerusakan penglihatan serius akibat glaukoma. Bagi Anda yang beresiko tinggi disarankan untuk memeriksakan mata Anda secara teratur sejak usia 35 tahun. Faktor resiko:

1. Riwayat glaukoma di dalam keluarga.
2. Tekanan bola mata tinggi
3. Miopia (rabun jauh)
4. Diabetes (kencing manis)
5. Hipertensi (tekanan darah tinggi)
6. Migrain atau penyempitan pembuluh darah otak (sirkulasi buruk)
7. Kecelakaan/operasi pada mata sebelumnya
8. Menggunakan steroid (cortisone) dalam jangka waktu lama
9. Lebih dari 45 tahun

Jenis-jenis GLAUKOMA

Primary Open-Angle Glaucoma | GLAUKOMA Sudut-Terbuka Primer

Glaukoma Sudut-Terbuka Primer adalah tipe yang yang paling umum dijumpai. Glaukoma jenis ini bersifat turunan, sehingga resiko tinggi bila ada riwayat dalam keluarga. Biasanya terjadi pada usia dewasa dan berkembang perlahan-lahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Seringkali tidak ada gejala sampai terjadi kerusakan berat dari syaraf optik dan penglihatan terpengaruh secara permanen. Pemeriksaan mata teratur sangatlah penting untuk deteksi dan penanganan dini.

Glaukoma Sudut-Terbuka Primer biasanya membutuhkan pengobatan seumur hidup untuk menurunkan tekanan dalam mata dan mencegah kerusakan lebih lanjut.

Acute Angle-Closure Glaucoma | GLAUKOMA Sudut-Tertutup Akut

Glaukoma Sudut-Tertutup Akut lebih sering ditemukan karena keluhannya yang mengganggu. Gejalanya adalah sakit mata hebat, pandangan kabur dan terlihat warna-warna di sekeliling cahaya. Beberapa pasien bahkan mual dan muntah-muntah. Glaukoma Sudut-Tertutup Akut termasuk yang sangat serius dan dapat mengakibatkan kebutaan dalam waktu yang singkat. Bila Anda merasakan gejala-gejala tersebut segera hubungi dokter spesialis mata Anda.

Secondary GLAUCOMA | GLAUKOMA Sekunder

Glaukoma Sekunder disebabkan oleh kondisi lain seperti katarak, diabetes, trauma, arthritis maupun operasi mata sebelumnya. Obat tetes mata atau tablet yang mengandung steroid juga dapat meningkatkan tekanan pada mata. Karena itu tekanan pada mata harus diukur teratur bila sedang menggunakan obat-obatan tersebut

Congenital GLAUCOMA | GLAUKOMA Kongenital

Glaukoma Kongenital ditemukan pada saat kelahiran atau segera setelah kelahiran, biasanya disebabkan oleh sistem saluran pembuangan cairan di dalam mata tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya tekanan bola mata meningkat terus dan menyebabkan pembesaran mata bayi, bagian depan mata berair dan berkabut dan peka terhadap cahaya.

Gejala Awal Glaukoma

Gejala yang dirasakan pertama kali antara lain : bila memandang lampu neon/sumber cahaya maka akan timbul warna pelangi di sekitar neon tersebut, mata terasa sakit karena posisi mata dalam keadaan membengkak, penglihatan yang tadinya kabur lama kelamaan akan kembali normal. Hal inilah yang membuat para penderita glaukoma tidak menyadari bahwa ia sudah menderita penyakit mata yang kronis.

(Berbagai Sumber)